Hukum Adat Batak vs Hukum Positif

(Negara Telah Melampaui Kewenangannya Dalam Melaksanakan Hak Menguasai Lahan)

Oleh. A.Marulitua Siahaan*

Mungkin, tidak dapat dipungkiri adanya makna “Dalihan Na Tolu” yang dikenal sebagai bentuk 3 tungku yang berkaki tiga dan saling membutuhkan satu sama lain untuk adanya keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan.

“Dalihan Na Tolu” telah disepakati menjadi lambang kesatuan dalam adat batak (dalam istilahkan Batak dikatakan “Manat mardongan tubu, elek marboru dan somba mar hula-hula” ), yang artinya ” Semua warga suku batak telah sepakat bertutur baik terhadap satu marga, berperilaku kasih kepada tutur perempuan, dan wajib hormat pada tutur paman”, selama hidup di Republik ini yang tetap mengidamkan keadilan dalam menjalani hidup demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan.

Oleh karena itu, filosopi “Dalihan Na Tolu” menjadi sebuah landasan yang kokoh dikalangan orang Batak, meski lambang tersebut didirikan sesuai hukum budaya adat Batak, rakyat bernegara selalu menghormati dan tunduk pada keputusan yang adil dalam berdemokrasi.

Kita tahu, sebelum istilah masyarakat Hukum Adat dimuat dalam Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, misalnya, telah dituangkan pada Pasal 18 B, menjadi salah satu peraturan perundang-undangan telah lebih dahulu menyebutkannya, juga putusan No.35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi secara jelas menegaskan bahwa, Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Masyarakat adat di seluruh Indonesia menyambut gembira Putusan MK tersebut dengan melakukan pemasangan plang di wilayah adat masing-masing secara serentak.

Adanya kondisionalitas terhadap status yuridis dan hak masyarakat hukum adat, menyebabkan keberadaan masyarakat hukum adat itu menjadi bergantung pada kemauan politik pemerintah. Hal tersebut terjadi karena hadirnya atau adanya klausul yang ditentukan undang-undang dalam batasan tentang masyarakat hukum adat.

Klausul tersebut menempatkan masyarakat hukum adat pada posisi sulit karena disyaratkan dengan beberapa ketentuan, diantaranya :
Sepanjang masyarakat hukum adat itu masih ada.
Sesuai dengan perkembangan zaman.
Sesuai dengan prinsif Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diatur dengan Undang-Undang.

Rangkaian persyaratan ini tentu menyebabkan, belum terdapatnya kejelasan tentang masyarakat hukum adat lebih lanjut. Akibatnya, apabila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, lantaran belum ada landasan hukum yang dapat digunakan untuk menyusun dan melaksanakan upaya advokasi khusus bagi kelompok ini dalam rangka melindungi hak-haknya.

Adapun hak yang dimaksud yang sah secara hukum adat misalnya seperti :
– Hak perseorangan sebagai warga negara, warga masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga Negara lainnya.
– Hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat, sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya baik untuk membangun dan mengambangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.
– Hak atas pembangunan, hak atas pembangunan merupakan bagian dari hak atas pembangunan, yang nemurut Deklarasi PBB tentang Hak atas pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO 1989 tentang kelompok minoritas dan masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka.

Ada catatan disebuah buku pada tanggal 9 Agustus diperingati sebagai International Day of The World’s Indigenous Peoples, atau kalau dalam bahasa Indonesia, berarti Hari Masyarakat Adat Internasional, yang menurut catatannya sependek yang diketahuinya, bahwa Konvensi PBB pada tahun 1994 ini belum diratifikasi pemerintah Indonesia menjadi undang-undang.

Pada sidang Majelis Umum PBB Desember 1994 itu, sejumlah negara, di antaranya Amerika dan Australia, menolak disahkannya Konvensi tersebut.

Padahal, tujuannya jelas untuk kemaslahatan masyarakat banyak, khususnya masyarakat adat. Tahun 2016 dilaporkan sekitar 2.680 bahasa masyarakat di dunia dalam bahaya dan terancam punah. Konvensi PBB itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan bentuk pengakuan atas sumbangsih masyarakat adat dunia dalam perlindungan lingkungan.

Segera terlihat kontradiksi yang tajam dalam hal ini. Masyarakat adat itu berusaha sekuat tenaga dengan segala kemampuannya menjaga, melindungi dan melestarikan tanah milik adat warisan dari leluhur mereka.

Masyarakat Aborigin misalnya, di Australia adalah contoh yang menakjubkan dalam hal ini. Mereka begitu mencintai tanah adat mereka. Bagi mereka “bumi adalah ibu”. Karena itu proteksi terhadap “ibu” mereka selalu dilakukan sampai titik darah penghabisan.

Namun ketika di Barat Australia pada tahun 1851 ditemukan tambang emas, suasana berubah. Pemerintah kolonial Inggris, yang waktu itu mengklaim Australia sebagai miliknya, melakukan penambangan. Para pendatang makin banyak berdatangan. Ironisnya pemerintah kolonial ini mengkapling-kapling tanah, termasuk bagian dari tanah adat masyarakat Aborigin, untuk para pendatang. Konflik berdarah berkepanjangan terjadi. Ribuan warga Aborigin tewas. Tetapi itu tidak membuat nyali mereka menjadi ciut. Mereka berusaha terus melakukan perlawanan.

Semua perjuangan berkaitan hak-hak tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan karena status masyarakat hukum adat dalam tata hukum seperti di Indonesia masih berkaitan dengan status yaitu “pengakuan”. Pengakuan ini mempunyai makna yuridis.

Menurut Pasal 51 (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Masyarakat Hukum Adat dapat menjadi Pemohon dalam dalam suatu perkara konstitusional. Konsekuensi dari pasal ini, suatu Masyarakat Hukum Adat yang tidak atau belum mempunyai legalitas berupa pengakuan dari Negara, akan menghadapi kendala dalam membela hak-haknya.

Hal tersebut akan menambah catatan panjang kegagalan Negara memberi perlindungan kepada warga Masyarakat Hukum Adat, yang hak-hak di mana pelaggaran tersebut memang sudah sering terjadi akibat tindakan aparatur Negara maupun pihak ketiga lainnya.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa hal yaitu : (1).Masyarakat Adat dapat saja dinamakan sebagai Masyarakat Tradisional. Akan tetapi suatu Masyarakat Tradisional tidak dapat begitu saja (otomatis) disebut sebagai Masyarakat Adat.

Jika pengertian tradisional itu tidak menyangkut tentang nilai-nilai (hukum adat) maka suatu Masyarakat Tradisional itu jelas tidak dapat disebut sebagai Masyarakat Adat.

Sebaliknya, jika tradisional itu diartikan sebagai konsep tradisi seperti tujuan dari “Dalihan Na Tolu” yang turun temurun oleh sebab keyakinan atas nilai-nilai/hukum adat, maka dapat saja Masyarakat Tradisional itu disebut Masyarakat Adat. Jadi kata kuncinya terletak pada pemaknaan antara tradisi (mencakup nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun) dan tradisional.

(2).Tentu tidak ada yang melarang bahwa Masyarakat Adat dapat disebut dengan nama lain yakni Masyarakat Hukum Adat, tetapi suatu Masyarakat Hukum Adat belum tentu dapat disebut sebagai Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Apabila pengertian adat itu menyangkut nilai nilai hukum adat, maka masyarakat adat dapat disebut pula Masyarakat Hukum Adat.

Apabila Masyarakat Hukum Adat diartikan sebagai masyarakat dengan penekanan pada hukum yang dianut, maka ia tidak dapat disebut sebagai kesatuan dalam perspektif sosiologis. Sebaliknya, jika masyarakat hukum itu ditekankan pada aspek institusi, ia dekat dengan pengertian dalam kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat. Maksud dari kata ‘dekat’ di sini adalah, substansinya berkisar pada persoalan institusi dan tidak berkisar semata-mata pada aspek karakteristik atau sifat tertentunya saja.

(3).Konsisten dengan pengertian masyarakat dalam pendekatan sosiologis di mana masyarakat hukum itu sudah dengan sendirinya memiliki makna Kesatuan (lihat kembali pendapat Soerjono Soekanto), maka akan menarik bilamana perubahan Pasal 18 B Ayat 2 itu menggunakan peristilahan yang lengkap yakni Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.

Pencegahan terhadap terjadinya tumpang tindih dalam menarik batas antara masyarakat adat, masyarakat hukum adat, dan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut :

Pertama, melalui penafsiran atas kata “kesatuan-kesatuan”. Penggunaan kata ‘kesatuan-kesatuan’ jelas mengandung arti beragamnya Masyarakat Hukum Adat itu, artinya adanya konsekuensinya adalah pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat harus dilakukan satu persatu menurut kebutuhan Masyarakat Hukum yang bersangkutan.

Kedua, dengan merujuk pada penempatan kesatuan-kesatuan tersebut di dalam Bab VI UUD NRI 1945 di mana Bab itu dimaksud yang berkaitan dengan berjudul Pemerintahan Daerah atau otonomi daerah.

Penempatan pengaturan ini sejalan dengan pengakuan yang diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum adat yang diatur pada Pasal 2 (4) undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ketiga, dengan memperhatikan bahwa hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan tersebut diatur juga pada Pasal 67 UU No.14 th. 1999 tentang Kehutanan, selengkapnya ditentukan sebagai berikut :

(1).Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum.

Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara khusus pada Pasal (4) yang mengatur bahwa “Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”. Kemudian juga pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 4 Ayat (3) di mana diatur bahwa “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Akan tetapi, kedua Undang-Undang yang disebutkan di atas tidak menjelaskan secara terinci mengenai konsep ‘masyarakat hukum adat’ tersebut. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 bahkan disebutkan bahwa “masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada diakui keberadannya.”

Hal tersebut tentu menyebabkan potensi multi tafsir dan menjadi lahan subur terjadinya konflik norma dalam praktek kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara kekuasaan, pengakuan, dan penghormatan. Keadaan tersebut menyebabkan pengakuan dan penghormatan yang dihajatkan terhadap Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dilaksanakan.

Potensi multi tafsir misalnya dapat dilihat dari aspek ‘siapa yang termasuk dalam Masyarakat Hukum Adat’ tersebut. Hal tersebut menimbulkan perdebatan tentang identitas personal individu yang berada dalam kelompok Masyarakat Hukum Adat, berkaitan dengan pengakuan menyangkut hubungan kelompok (Masyarakat Hukum Adat) dengan perorangan sebagai anggota dalam satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Lebih dari itu kesimpang siuran penggunaan istilah juga menambah ketidak jelasan apa yang dimaksud dengan ‘masyarakat hukum adat’. Pasal 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Berbagai peraturan lain dalam bidang hukum sumber daya alam menggunakan istilah yang berbeda-beda, seperti: Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional.

Persoalannya, keberagaman tersebut tidak hanya menyangkut istilah, tetapi juga berdampak pada keragaman pemaknaan pula atas batasan kelembagaan dari Masyarakat Hukum Adat itu. Dalam ranah aplikatif ketentuan normatif diperlukan terjemahan yang tegas, baik tentang pengertian, jenis dan bentuk Masyarakat Hukum Adat, sehingga dengan demikian pengakuan dan perlindungan tersebut dapat dilaksanakan oleh Negara.

Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat. Pengertian pengakuan dan perlindungan tersebut sebetulnya juga sudah diatur pada pada Pasal 4 (1) Undang-Undang RI. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal tersebut, terlihat bahwa semua hutantermasuk kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Yang perlu dijaga pemaknaannya agar menjadi jelas adalah pernyataan yang menyangkut “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata rakyat yang dicantumkan dalam pernyataan tersebut seyogyanya dalam bagian penjelasan diberi batasan supaya terang yang dimaksud rakyat dalam segmen yang mana, oleh kekuasaan dalam tingkatan apa ? 3 Hal tersebut masih belum jelas dalam UU ini.

Akan tetapi yang sudah pasti adalah harus ada pemahaman di mana sumber daya alam itu harus dimanfaatkan, harus dijaga, dipelihara, dan para stakeholder (masyarakat dan Negara) yang terlibat dalam pemanfaatan, pengelolaan, dan pemeliharaannya harus memiliki sikap saling respek dalam wujud perbuatan. Hal-hal itulah yang akan menjadi isi dari Undang-Undang untuk dapat menuju “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dimaksud.

Tentang istilah menghormati, dalam teori ketatanegaraan sama dengan mengakui kedaulatan. Sehingga, ada 3 Artinya secara analogi sama kedudukannya dengan “mengakui dan menghormati daerah istimewa dan daerah khusus.”

Dalam hal ini, Pan Mohamad Faiz memberi makna sebagai :
Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan jaminan bagi tujuan “menghormati” yang diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat atas sumber daya alam sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengelolaan (beheersdaad), tidak bertindak selaku pemilik (eigensdaad).

Jika dicermati lebih lanjut ketentuan pada Pasal 5 UU RI No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, istilah Masyarakat Hukum Adat belum juga mendapatkan pengertian yang jelas. Lebih jauh dari itu pada beberapa aturan perundangan-undangan dalam rangka menjelaskan apa yang dimaksud sebagai Masyarakat Hukum Adat, mencantumkan kembali ketentuan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara RI, seperti redaksi aslinya.

Akibatnya, tidak terdapat suatu peraturan perundangan pun yang memuat penjelasan memadai tentang apa itu Masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian ketentuan normatif tentang apa yang dimaksud dengan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu belum jelas, apalagi yang menyangkut persyaratan pengakuannya untuk dapat memenuhi ketentuan persyaratan, “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara keastuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang”

Atas dasar uraian tersebut diatas menjadi dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut ;
(1). Apakah batasan suatu kelompok Masyarakat Hukum Adat itu dinyatakan masih ada ?
(2). Lembaga negara dalam tingkatan apa yang dapat menyatakan masyarakat Hukum Adat itu masih ada atau bahkan menyatakannya menjadi tidak ada ?
(3). Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat dalam merealisasikan haknya sebagai suatu kelompok terutama dalam isu akses SDA ?

Tujuan utama dari artikel ini adalah sejauh mana batasan tentang Masyarakat Hukum Adat. Kemudian untuk mengetahui juga keberadaan kelembagaan Negara yang dapat memberikan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, sekaligus guna memahami bentuk pengakuan dan penghormatan Negara terhadap hak Masyarakat Hukum Adat.

Sehingga diperoleh manfaat yang dapat menjadi pengetahuan dikalangan masyarakat adat, sebab dengan diketahuinya batasan tentang Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup dan sesuai dengan aturan perundang-undangan, batasan tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat.

Pengetahuan, merupakan sebuah pedoman menambah wawasan, juga untuk memberi sumbangan tentang pemikiran yang berkenaan dengan asas dan konsep tentang masyarakat Hukum Adat.

Tentu keberadaan adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang adalah salah satu pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana penjelasan diatas adalah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud tersebut, bahwa setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan aturan tersebut, telah jelas ditentukan bahwa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dengan menggunakan perangkat hukum Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dimaksud sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Th. 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.

Sekalipun ketentuan tersebut masih kental memperlihatkan adanya kewenangan sentralisme, namun terdapat perkembangan pengaturan yang mengarah pada pengakuan atas realitas keberadaan masyarakat hukum adat.

Sifat kecurigaan pemerintah pusat telah dikurangi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto dalam uraiannya menyangkut hubungan pemerintah dengan rakyat. Menurut Wignjosoebroto, kalaupun semangat nasionalisme dan sentralisme seakan terus mencurigai segala gerakan yang mendesakkan pengakuan kembali komunitas-komunitas lokal sebagai satuan-satuan otonom, perkembangan politik dan hukum dalam pergaulan antar bangsa justru mendorong diakuinya kembali eksistensi komunitas-komunitas subnasional itu sebagai satuan-satuan otonom yang dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya akan terakui pula hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri.

Dalam kehidupan Negara Kesatuan, sifat saling curiga sulit dihilangkan, karena realitasnya memang terdapat silang selisih dan ragam kepentingan yang berpotensi konflik, yang sebetulnya dapat dikelola sebagai sarana kompromi. Hal ini akan terus berlangsung dan memerlukan pengelolaan konflik yang baik, sampai ditemukan fokus dalam wawasan kebangsaan.

Dengan demikian, pengakuan dan penghormatan Negara atas Masyarakat Adat menjadi sangat penting artinya.Terutama berkaitan dengan perlindungan atas hak Masyarakat Adat unuk mengakses sumber daya alam.

Hal tersebut terlihat antara lain dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam. TAP tersebut telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sebaliknya, UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, yang secara hierarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan maupun pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam wilayah adatnya.

Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak Masyarakat Adat yang diatur dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX Th. 2001. Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan. Hak kepemilikan tetap ada pada Negara.

Oleh karena itum, patut diduga bahwa Negara ini sudah melampaui kewenangannya dalam melaksanakan hak menguasai. Hendaknya TAP MPR No. IX Tahun. 2002 dapat menularkan prinsipnya kepada UU No. 41 Tahun. 1999 tentang Kehutanan.

Dengan kata lain UU tersebut yang lahir sebelum TAP ditetapkan, seharusnya dapat direvisi supaya sesuai dengan prinsip TAP MPR No IX Tahun 2002.

Pengakuan dan penghormatan Negara atas Masyarakat Adat menjadi sangat penting artinya. Terutama berkaitan dengan perlindungan atas hak Masyarakat Adat unuk mengakses sumber daya alam. Hal tersebut terlihat antara lain dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang dimaksudkan untuk menata ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber agraria dan sumberdaya alam. TAP tersebut telah menggariskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah pengakuan, penghargaan dan perlindungan dari negara terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sebaliknya, UU No. 41 Th. 1999 tentang Kehutanan, yang secara hierarki hukum berada di bawah konstitusi dan TAP MPR, justru tidak mengakui dan tidak menghargai hak-hak masyarakat adat atas penguasaan maupun pemilikan atas hutan adat, yaitu kawasan hutan yang berada dalam wilayah adatnya. Pasal-pasal yang mengangkut hak-hak Masyarakat Adat yang diatur dalam UU ini bertentangan dengan acuan hukum di atasnya, yaitu: UUD 1945 dan TAP MPR No. IX Th. 2001.

Pengakuan yang ada dalam UU ini atas hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya masih bersifat terbatas dan reduktif, yaitu hanya pemberian hak pengelolaan. Hak kepemilikan tetap ada pada Negara. Dengan demikian, Negara sudah melampaui kewenangannya dalam melaksanakan hak menguasai. Hendaknya TAP MPR No. IX Tahun 2002 dapat menularkan prinsipnya kepada UU No. 41 Tahun. 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain UU tersebut yang lahir sebelum TAP ditetapkan, dapat direvisi supaya sesuai dengan prinsip TAP MPR No IX Tahun 2002.

Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Terlihat bahwa aspek pengakuan Negara masih dominan dalam pengaturan UU ini tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Sekalipun demikian, pada bagian penjelasan disebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.

Pengertian masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional yang Pertama pada tahun 2004, adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Berdasarkan batasan ini, jelaslah penentuan tentang eksistensi Masyarakat Hukum Adat telah dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat.

Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 2 (4) UU No.5 Th.1960 tentang Peraturan dasar Pokok Agraria, selengkapnya sebagai berikut : Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan pasal ini memperlihatkan bahwa:
(1). Kedudukan Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat untuk melaksanakan kuasa atas hak menguasai Negara sama dengan kedudukan Daerah-Daerah Swatanra (Daerah Tingkat II).
(2).Sebagai kuasa dari hak menguasai Negara dapat diberikan secara langsung oleh Negara, dalam hal ini tentu oleh Presiden, tetapi hal ini memerlukan peraturan tersendiri untuk melaksanakannya.
(3). Mekanisme untuk menetapkan pengakuan tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang.
(4).Berbagai ketentuan perundang-undangan telah mengakui keberadaan Kesatuan-Kesatuan masyarakat Hukum Adat, tetapi mekanisme untuk melaksanakan proses pengakuan secara nyata diatur dengan proses yang sangat sulit, oleh karena itu terhadap perlindungannya juga belum dapat dilaksanakan.

Keadaan ini juga sejalan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, sebagai berikut : Tak pelak lagi pengakuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan itu, baik ipso jure maupun ipso facto akan gampang tertafsirkan sebagai pengakuan yang harus dimohon, dengan beban pembuktian akan masih eksisnya masyarakat hukum adat itu oleh masyarakat hukum adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tak mengakui secara sepihak berada ditangan kekuasaan pemerintah pusat.

Atas uraian tersebut telah jelas memperlihatkan, bahwa kewenangan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu Masyarakat Hukum Adat berada di tangan pemerintah pusat dan telah dikuasakan kepada masyakat hukum adat sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di mana dalam Pasal 2 tersebut diatur bahwa : Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Kesimpulannya dalam artikel ini, bahwa kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diatur pada Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam perspektif budaya yang merupakan kesatuan masyarakat Indonesia asli Indonesia.

2) Istilah kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah istilah yuridis yang ditentukan dalam Pasal 18 B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan satu-satunya istilah yuridis. Penentuan pengakuan terhadap Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat masih bengantung pada kekuasaan Negara. Pengakuan dan perlindungan itu dapat ditempuh melalui mekanisme pengujian materi UU yang merugikan masyarakat hukum adat, dan mekanisme penyusunan Peraturan Daerah pada lingkup wilayah daerah tempat Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan memerlukan pengakuan dan perlindungan.

3) Diperlukan satu kesatuan pengertian yuridis untuk memberikan definisi terhadap pengertian kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang ditentukan dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4) Pengakuan terhadap Kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat itu harus dilakukan satu persatu atau kasus per kasus sesuai pengertian yang diberikan secara yuridis terhadap apa yang dimaknai sebagai “kesatuan-kesatuan” Masyarakat Hukum Adat.

Saran penulis,
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat di Indonesia sangat penting untuk diatur dalam aturan perundang-undangan. Hal ini untuk menghindari kehidupan masyarakat adat yang semakin termarjinalkan. Akan tetapi hendaknya pengaturan itu berkesesuaian dengan hukum nasional, hukum internasional, dan prinsip-prinsip Universal Hak Asasi Manusia.
Perlu adanya pembaharuan peraturan perundang-undangan tentang sumber daya alam untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, untuk menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia. Semoga….!

Next Post

Nasionalisme Aset Menuju Kemakmuran Bangsa

Sun Aug 22 , 2021
Oleh: Holpan Sundari, Lc. BFin  JAKARTA, – Secara etimologis, kata nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam bahasa Inggris, yang dalam studi semantik kata nation tersebut berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor yang bermakna ’saya lahir’, atau dari kata natus sum, yang berarti ‘saya dilahirkan’. […]

Lihat Juga

Chief Editor

Johny Watshon

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit in voluptate velit esse cillum dolore eu fugiat nulla pariatur

Quick Links